
Catatan Kritis AP2I di Hari Pelaut Sedunia 25 Juni 2025
- Menaker (tahun 2000) mengabaikan Amanah PP Kepelautan, Pasal 19 ayat (6), yaitu tidak menerbitkan KEPMENAKER tentang tata cara penempatan tenaga kerja pelaut yang bekerja di kapal asing di luar negeri, di mana dalam prosesnya Menaker wajib mendengar Pendapat dari Menhub. Kepmenaker tersebut, seyogyanya jika terbit, terdapat kejelasan siapa institusi yang berwenang untuk mengatur tata kelola penempatan tenaga kerja pelaut yang bekerja di kapal asing di luar negeri, atau setidak-tidaknya ada kejelasan terhadap masing-masing peran dari dua Kementerian tersebut (kemnaker dan kemenhub, saat itu).
- Menaker (tahun 2004) mengabaikan Amanah UU 39/2004 PPTIKLN, Pasal 28 dan Penjelasannya, yaitu tidak menerbitkan Permenaker tentang tata cara penempatan TKI Pelaut. Dengan tidak diaturnya Permenaker sebagaimana angka 2 (dua) di atas, kemudian muncul peraturan dari dua institusi yang berkaitan dengan tata kelola pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing di luar negeri, yaitu: (a) Pertama, Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor: PER.13/KA/VII/2009 tentang Pendataan Pelaksana Penempatan Pelaut Indonesia di Luar Negeri. (b) Kedua, Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor: PER.03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing. (3) Ketiga, Peraturan BNP2TKI Nomor: PER.12/KA/IV/2013 tentang Tata Cara Perekrutan Penempatan dan Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera Asing. (d) Permenhub PM No. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.
- Dasar untuk penerbitan 3 Perka BNP2TKI sebagaimana huruf a, b dan c, adalah karena adanya kekosongan hukum. Dengan kata lain, asumsi Menaker (tahun 2004) telah mengabaikan Amanah UU PPTKILN Pasal 28 dan Penjelasannya, adalah tepat. Namun di sisi lain, Kepala BNP2TKI juga telah melampaui kewenangannya dengan penerbitan 3 Perka BNP2TKI tersebut, mengingat BNP2TKI dalam UU PPTKILN merupakan badan pelaksana kebijakan. Bukan pembuat kebijakan, apalagi Amanah UU PPTIKLN Pasal 28 dan Penjelasannya adalah terbitnya Permenaker, bukan Perka BNP2TKI.
- Dasar untuk penerbitan Permenhub PM No. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 151 PP 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha keagenan awak kapal diatur dengan Peraturan Menteri.”. PM 84/2013 diterbitkan, dengan mengingat dalam konsiderannya, salah satunya tentang UU 39/2004 PPTKILN.
- UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) mengamanahkan ketentuan tentang Penempatan (termasuk perizinan) dan Pelindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah (vid. Pasal 64). PP amanah Pasal 64 UU PPMI, kemudian terbit pada tahun 2022, yaitu PP No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran (PP 22/2022). Dalam ketentuan yang diatur di dalam PP 22/2022, salah satu syarat wajib bagi perusahaan pengirim pelaut keluar negeri yang akan mengurus SIP3MI harus memiliki Bukti Lulus Seleksi Teknis dari Kementerian terkait (Kemenhub untuk perusahaan penempatan awak kapal niaga dan KKP untuk perusahaan penempatan awak kapal perikanan). Hal itu dipertegas pula dengan terbitnya Peraturan Menteri P2MI/BP2MI No. 1 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Namun sejak Permen P2MI/BP2MI 1/2025 diundangkan pada tanggal 15 Januari 2025, hingga detik ini belum ada aturan teknis atau pedoman atau SOP dari KKP dan Kemenhub terkait tata cara mengurus Bukti Lulus Seleksi Teknis tersebut (saran: sebaiknya diatur dalam Peraturan Menteri, atau minimal Peraturan Dirjen). Fakta di lapangan: meski belum terbit aturan teknis dari Kementerian terkait tentang SOP mengurus Bukti Lulus Seleksi Teknis dari Kementerian terkait tersebut, nyatanya sudah ada sekitar 31 perusahaan yang menempatkan pelaut keluar negeri yang telah memiliki izin SIP3MI terbitan Kemnaker (data dari KP2MI/BP2MI berdasarkan surat jawaban permohonan informasi publik AP2I kepada KP2MI/BP2MI). AP2I mengimbau kepada KP2MI/BP2MI (yang saat ini sebagai pengampu izin SIP3MI menggantikan Kemnaker) untuk melakukan evaluasi terhadap syarat kelengkapan 31 perusahaan tersebut dan melakukan tindakan yang diperlukan guna memproseduralisasi perizinan SIP3MI. PP 22/2022 juga mengamanahkan bagi pemilik izin SIUPPAK terbitan Kemenhub sesuai PM 84/2013 untuk menyesuaikan ke perizinan SIP3MI. Catatan: sepertinya tidak ada yang perlu disesuaikan terhadap perizinan SIUPPAK, mengingat PM 84/2013 sudah dicabut/tidak berlaku.
- UU No. 6 Tahun 2023 jo. UU No. 66 Tahun 2024 jo. PP 31 Tahun 2021 jo. PM 59 Tahun 2021, mengubah perizinan SIUPPAK terbitan Kemenhub menjadi SIUKAK (Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal) sebagai perizinan yang wajib dimiliki oleh Badan Usaha Khusus Keagenan Awak Kapal.
- Putusan MK No. 127/PUU-XXI/2023, tidak menyatakan bahwa perizinan SIP3MI adalah satu-satunya izin yang wajib dimiliki bagi perusahaan pengirim pelaut keluar negeri. Putusan tersebut hanya memutus apa yang diajukan oleh Pemohon, yakni keberatan terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c, mengenai STATUS Pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai bagian dari Pekerja Migran Indonesia atau bukan. Meskipun Putusan tersebut kemudian memfinalkan bahwa Pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri “BERSTATUS” sebagai bagian dari Pekerja Migran Indonesia, tetapi bukan serta merta kemudian perizinan yang wajib dimiliki hanyalah izin SIP3MI. Dalam Putusan tersebut soal “dualism” perizinan, MK berpendapat (Putusan, Hal. 229 angka 5) bahwa “Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut, apa yang didalilkan oleh Para Pemohon pada permohonan a quo, mengenai permasalahan perizinan dan kewenangan lembaga yang mengeluarkan izin tersebut, TERBUKTI merupakan bagian kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dan BUKAN merupakan permasalahan konstitusional yang harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.” Sehingga menurut kami, tidak perlu tindakan-tindakan atau narasi-narasi yang seolah-oleh perusahan pengirim pelaut Indonesia keluar negeri hanya wajib berizin SIP3MI. sebab, antara izin SIP3MI dengan izin SIUKAK merupakan produk dari Kementerian yang berbeda dan berdasarkan dari peraturan perundang-undangan yang berbeda pula, sehingga hal tersebut merupakan pilihan bagi perusahaan untuk hanya mengurus satu perizinan atau lebih, sebab pasti ada konsekuensi hukum bagi perusahaan apabila mengabaikan salah satunya. Sebagai contoh, dalam rezim perizinan SIUKAK di Kemenhub, setiap perusahaan wajib melakukan Penyijilan “Mustering” pada Buku Pelaut dan pengesahan Perjanjian Kerja Laut (PKL) di Kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang ada di wilayah/daerah masing-masing. Untuk bisa melakukan Penyijilan Buku Pelaut dan Pengesahan PKL tersebut, perusahaan harus membuat akun di laman resmi Kemenhub dengan mengupload izin SIUKAK. Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana jika perusahaan hanya memiliki izin SIP3MI? Apakah perusahaan bisa membuat akun sijil dan disetujui oleh admin laman Kemenhub? Padahal Sijil Buku Pelaut dan Pengesahan PKL di UPT Kemenhub adalah kewajiban yang diatur dalam UU Pelayaran dan memiliki konsekuensi ancaman hukuman baik pidana kurungan penjara maupun pidana denda. Jika sampai terjadi hal seperti itu, siapa yang akan bertanggung jawab dan menanggungnya? Apakah pihak yang menyatakan izin perusahaan penempatan pelaut keluar negeri hanya SIP3MI siap menanggung konsekuensi ancama pidana dalam UU Pelayaran terkait tidak melaksanakan penyijilan dan pengesahan PKL? Lalu apa pentingnya sijil bagi Pelaut pada Buku Pelaut? Sijil sangat penting, di mana pelaut memiliki rekam jejak pengalaman kerja dan hubungan kerjanya dengan pemilik kapal/operator kapal/perusahaan keagenan awak kapal mana saja, pernah kerja di kapal apa saja, dengan jabatan pertama dan terakhir sebagai apa, status kesehatannya bagaimana, di mana hal tersebut sangat berguna bagi Pelaut untuk kemudian bisa menjadi rekaman jenjang karir yang bagus dan tentunya hal tersebut bisa digunakan sebagai acuan bagi pelaut untuk melakukan negoisiasi peningkatan upah berdasarkan pengalamannya tersebut yang terekam rapi di dalam Buku Pelaut, yang tentunya sejauh ini belum dimiliki oleh Pekerja Migran Indonesia pada umumnya, misalnya Buku Pekerja Migran Indonesia yang isinya seperti Buku Pelaut?
- Beda dengan Putusan MK No. 127/PUU-XXI/2023 yang hanya memutus tentang STATUS PELAUT, Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 67 P/HUM/2022 justru sangat tegas, yang dalam Pertimbangannya, Majelis Hakim MA menyatakan “Bahwa perekrutan awak kapal dan penempatan awak kapal tidak dapat disamakan dengan Pekerja Migran Indonesia, dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berbeda sehingga sudah sewajarnya kewenangan terkait penerbitan perizinan usaha perekrutan dan penempatan awak kapal dilaksanakan oleh instansi yang berbeda, dalam hal ini untuk perizinan terkait perekrutan dan penempatan Awak Kapal berbendera Indonesia dan Kapal Asing di luar negeri dilaksanakan oleh Kementrian Perhubungan sedangkan perizinan terkait Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan oleh Kementrian Ketenagakerjaan.”
- Soal upaya melindungi setiap pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing di luar negeri, jika pelindungan itu salah satu basisnya adalah soal adanya kewajiban deposito yang diatur dalam izin SIP3MI tetapi tidak ada diatur dalam izin SIUKAK, solusinya kenapa harus gontok-gontokan antar Kementerian? Sindir-sindiran di medsos “izin yang sah hanya dari kami”, hhmm… memalukan sekali. Upaya penyesuaian perizinan melalui PP 22/2022 juga terlihat tidak menghormati keberadaan PP 31/2021. Kalau perusahaan sudah punya izin SIUKAK sebagai izin khusus bagi perusahaan keagenan awak kapal, kenapa harus diwajibkan berpindah ke SIP3MI hanya karena masalah adanya deposito sebagai jargon pelindungan? Apakah solusinya hanya dengan “menyabotase” izin yang selama ini (sejak 2013) sudah diperjuangkan oleh Kementerian lain? kenapa tidak coba masing-masing menterinya ngopi dan bahas sinkronisasi perizinan? Misalnya, dengan penerbitan surat Keputusan Menteri bersama, bahwa perusahaan pemilik SIUKAK yang melakukan pengiriman awak kapal migran (niaga dan perikanan) wajib menyetor deposito sebagaimana kewajiban pemilik izin SIP3MI tanpa harus merebut siapa penerbit awalnya, toh kan sama-sama menterinya Presiden Prabowo Subianto kan? Pemerintah juga enggak boleh terlalu KAKU, misalnya, berikan kesempatan bagi Pemilik SIUKAK yang akan melaksanakan kewajiban menyetor deposito sebagaimana kewajiban pemilik SIP3MI untuk bisa diberikan jangka waktu atau bisa dilakukan bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi keuangan perusahaan saat itu. Kecuali bagi perusahaan yang baru akan mengurus perizinan, barulah soal deposito itu tidak bisa ditawar atau disetor bertahap. Sebab jika pemerintah terlalu kaku, lalu pengusaha tidak mampu, lalu menutup perusahaan, lalu siapa yang akan melakukan penempatan pelaut Indonesia keluar negeri? Bukankah hubungan antara pengusaha dan pelaut itu saling membutuhkan? Tanpa pengusaha, pelaut susah mendapatkan kerja, begitupun pengusaha, tanpa pelaut, pengusaha usahanya tidak akan berjalan.
- Terakhir, AP2I berharap pemerintah saling bahu membahu bersama organisasi pelaut dan organisasi pengusaha untuk bersama-sama mewujudkan hubungan kerja pelaut yang harmonis, dinamis dan berkeadilan bagi para pihak. Merangkul organisasi pelaut, jangan malah dipukul. Berbeda pendapat itu biasa, kan negara ini negara demokrasi yang terbentuk dari pendapat-pendapat yang berbeda, yang kemudian disatukan dan menjadi sebuah bangsa yang besar dengan ideologinya yang luar biasa, yakni PANCASILA. Sekian. Selamat memperingati Hari Pelaut Sedunia 25 Juni 2025. Semoga Pelindungan dan kesejahteraan Pelaut semakin bisa ditingkatkan. Pengusaha Senang, Pelaut Menang, Pemerintah Tenang!
Salam,
Ketua Umum AP2I
Imam Syafi’i
Unduh file pdf: