Ketua Asosiasi Pekerja Indonesia (AP2I), Imam Syafi’i, menegaskan bahwa kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menimpa 40 Anak Buah Kapal (ABK) korban PT Maritim Samudera Indonesia (MSI) tidak boleh dibiarkan mangkrak.
Setelah lima tahun terhenti, ia mendapat secercah harapan dari Polda Metro Jaya yang akan melanjutkan penyidikan agar para korban memperoleh haknya. Imam menjelaskan, laporan terhadap PT MSI pertama kali diajukannya pada 14 Januari 2019 di Bareskrim Mabes Polri dengan nomor LP/B/0062/I/2019/BARESKRIM.
Laporan itu kemudian dilimpahkan ke Polda Metro Jaya untuk penyidikan lebih lanjut. “Pada laporan awal, penyidik sigal. Mereka memanggil saya selaku pelapor, ABK korban, dan direktur PT MSI untuk dimintai keterangan. Bahkan sempat ada mediasi dengan mekanisme restorative justice, di mana perusahaan berjanji membayar gaji ABK sebesar Rp1,07 miliar,” ujar Imam.
Namun, janji PT MSI tidak pernah ditepati. PT MSI meminta waktu tiga bulan untuk melunasi hak ABK, tetapi hingga lebih dari lima bulan tidak ada kabar. Pada Juni 2020, pihak perusahaan malah meminta Imam mencabut laporan polisi dengan alasan kesepakatan pembayaran.
“Faktanya, sampai sekarang para ABK tidak pernah menerima haknya. Lebih parah lagi, setelah November 2020, saya tidak pernah mendapat informasi lanjutan dari penyidik maupun terlapor,” tegasnya.
Situasi semakin rumit ketika direktur PT MSI ditangkap pada kasus berbeda oleh Bareskrim Polri dan divonis enam tahun penjara dalam perkara TPPO terhadap lima ABK lain di Pengadilan Negeri Cirebon pada 2021. Sejak itu, kasus 40 ABK korban PT MSI praktis terhenti tanpa kejelasan.
Imam menyebut, pada Agustus 2025, ia dihubungi seorang penyidik baru dari Polda Metro Jaya yang menyatakan menggantikan penyidik lama. Imam pun menegaskan kembali permintaannya agar kasus ini dilanjutkan secara resmi.
“Kami ingin keadilan ditegakkan. Jangan sampai 40 ABK korban ini terus menjadi korban dua kali, pertama oleh perusahaan yang menelantarkan hak mereka, kedua oleh sistem hukum yang membiarkan kasusnya terhenti,” ungkapnya.
AP2I menilai kasus ini penting sebagai momentum memperkuat perlindungan bagi pekerja migran sektor perikanan.
“Negara harus hadir. Jangan sampai praktik perbudakan modern lewat modus penempatan ABK ini terus berulang. Penyidikan harus dibuka kembali, dan hak-hak ABK wajib dibayar,” tutup Imam.
Sumber: Jogja Viva




























































































