
Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) mengapresiasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) atas terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2024 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan “SEMA 2/2024”, yang telah ditetapkan oleh Ketua MA RI, Sunarto, pada tanggal 17 Desember 2024.
AP2I menilai terbitnya SEMA 2/2024 telah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran “UU 66/2024”, yang telah disahkan oleh Presiden RI, Prabowo Subianto pada tanggal 28 Oktober 2024.
Keselarasan dimaksud, terdapat pada:
- Ketentuan UU 66/2024 Pasal I Angka (63) yang menyatakan bahwa “Ketentuan Pasal 337 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Pengaturan mengenai ketenagakerjaan di bidang Pelayaran dilaksanakan sesuai dengan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. (2) Pengaturan mengenai kepelautan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.” yang dalam Penjelasannya menyatakan bahwa “Angka 63, Pasal 337, Ayat (1), Ketentuan ketenagakerjaan di bidang Pelayaran berlaku secara umum terhadap pekerja selain Awak Kapal. Ketentuan ketenagakerjaan untuk Awak Kapal berdasarkan Perjanjian Kerja Laut secara khusus diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wet Borepublikek Van Koophandel), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention, 2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, 2006), dan semua peraturan perundang-undangan di bidang Pelayaran. Ayat (2), Cukup jelas.”
- Ketentuan SEMA 2/2024, Lampiran B. Hasil Rumusan Kamar Perdata, Angka 4. Perselisihan Hubungan Industrial:
- Perselisihan antara anak buah kapal dengan pengusaha kapal diselesaikan dengan berpedoman pada Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Pelayaran beserta aturan pelaksanaannya. Dalam hal KUHD dan Undang-Undang Pelayaran beserta aturan pelaksanaanya tidak mengatur maka penyelesaiannya berpedoman pada ketentuan ketenagakerjaan.
- Para pihak yang berselisih terkait hubungan pekerja/buruh di sektor perkapalan yang didasarkan pada PKL dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial pada tempat PKL dibuat dan ditandatangani pada wilayah kantor kesyahbandaran pelabuhan atau di tempat terakhir pekerja itu bekerja.
AP2I berpendapat bahwa adanya fungsi baru dari Mahkamah Pelayaran (MAHPEL) sebagaimana UU 66/2024 Pasal I Angka (50) yang menyatakan bahwa “Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: e. melakukan mediasi dalam penyelesaian perselisihan perjanjian kerja laut.” merupakan sebuah terobosan baru yang menjadi opsi bagi perusahaan dan pelaut yang berselisih terkait PKL untuk diselesaikan melalui MAHPEL. Artinya, pihak yang berselisih diberikan pilihan dalam penyelesaian perselisihan terkait PKL, dan opsi pertama (yang didahulukan/khusus) adalah melalui Lembaga MAHPEL, selain juga terdapat opsi kedua (secara umum) yang dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.
Terakhir, saat ini endingnya berada di MAHPEL. AP2I berharap MAHPEL dapat menerbitkan SOP (Standar Operasional Prosedur) atau mekanisme penyelesaian perselisihan terkait sengketa PKL, yang tentunya dalam perumusan atau penyusunannya, MAHPEL dapat melibatkan atau menyerap aspirasi dari berbagai pihak, utamanya dari pihak organisasi pengusaha dan juga dari organisasi pekerja di sektor perkapalan dan kepelautan, di mana goalnya, paling tidak proses penyelesaian perselisihan terkait sengketa PKL tersebut bisa lebih cepat selesainya ketimbang harus berperkara di pengadilan hubungan industrial.
Catatan: artikel ini ditulis oleh Ketua Umum AP2I, Imam Syafi’i.